Selasa, 18 November 2008

Islam secara Kaffah (keseluruhan)

Islam Kaffah

Allah Swt. berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuh kalian yang nyata. Akan tetapi, jika kalian menyimpang (dari jalan Allah) setelah bukti-bukti kebenaran datang kepada kalian, maka ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 208-209).
Berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran mulia di atas, beberapa hal dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, sesungguhnya ada sebagian orang dari kalangan Yahudi yang baru memeluk Islam, yang menganggap bahwa sekiranya mereka tetap mengimani sesuatu yang ada di dalam Taurat, hal itu sedikit pun tidak membahayakan keimanan mereka terhadap Islam. Allah Swt. lalu menurunkan penjelasan kepada mereka bahwa mengimani Islam mengharuskan keimanan pada semua perkara yang ada dalam Islam secara utuh. Sikap mengimani sesuatu selain dari Islam, betapapun sedikit, sama saja dengan mengikuti jalan-jalan setan; musuh nyata yang selalu melakukan permusuhan terhadap orang-orang Mukmin.

Frasa Ya ayyuhalladzîna âmanû adalah sebuah seruan yang ditujukan kepada orang-orang yang meninggalkan kekufuran dan menganut Islam. Sementara itu, kata as-silm dalam kalimat udkhulû fî as-silmi kâffah tersebut maksudnya adalah Islam. Demikianlah sebagaimana yang diterangkan oleh Ibn ‘Abbas r.a. Selanjutnya, kalimat fî as-silmi kâffah maksudnya adalah mengimani Islam secara keseluruhan tanpa pengecualian dan mengamalkan syariat Islam secara utuh tanpa mengikuti syariat lainnya. Kata kâffah adalah keterangan keadaan dari kata as-silm, yakni as-silmi kullihi, dalam arti, al-Islâm kullihi.

Kata kâffah termasuk ism fâ’il yang bermakna menghalangi atau mencegah.

Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa sesungguhnya ayat tersebut diturunkan berhubungan dengan ‘Abdullah ibn Salam beserta kawan–kawannya dari kalangan Yahudi. Ketika telah mengklaim beriman kepada Nabi saw. dan mengimani syariatnya, mereka tetap mengimani sesuatu dari syariat Musa a.s. Mereka tetap mengagungkan Hari Sabtu serta membenci daging dan susu unta meskipun mereka telah menganut Islam. Orang-orang Muslim mengingkari sikap mereka, lalu mereka pun berkata. “Sesungguhnya kami menguatkan yang ini dan yang ini.”
Mereka juga berkata kepada Nabi saw., “Sesungguhnya Taurat adalah kitab Allah. Oleh karena itu, kami pun menyerukannya dan kami beramal dengannya.”
Allah Swt. kemudian menurunkan ayat tersebut.
Artinya, bahwa siapa saja yang masuk Islam, wajib baginya untuk masuk ke dalam Islam itu seutuhnya sehingga ia tidak dibenarkan melaksanakan syariat lainnya. Sebab, Islam telah menghapus syariat-syariat lain yang pernah Allah turunkan. Allah Swt. berfirman:
Kami telah menurunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran; membenarkan kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelumnya dan menundukkannya. (QS al-Maidah [5]: 48).

Maksudnya, al-Quran memiliki otoritas untuk menghapus syariat yang tercantum dalam kitab-kitab sebelumnya. Oleh karena itu, upaya menetapkan hukum yang bersumber dari syariat-syariat terdahulu yang tidak diakui Islam merupakan sikap mengikuti langkah-langkah setan. Padahal, Allah Swt. berfirman:

Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh kalian yang nyata. (QS al-Baqarah [2]: 168).
Kedua, tidak dibenarkan menafsirkan kata as-silm dalam ayat yang mulia ini dengan makna perdamaian dengan musuh, meski memang kata tersebut dapat dimaknai Islam ataupun perdamaian. Dalam hal ini, ia termasuk kata musytarak atau mutasyâbihah (mengandung lebih dari satu pengetian). Untuk menentukan makna mana yang dimaksud dari dua pengertian yang ada ini diperlukan pemahaman terhadap kontekstualitasnya dengan cara memahami berbagai indikator (qarînah) yang berhubungan dengan kata tersebut dalam korelasinya dengan ayat-ayat yang bermuatan hukum.

Dengan demikian, apabila kata as-silm di sini dimaknai dengan perdamaian, maka maknanya akan menjadi masuklah kalian ke dalam perdamaian bersama musuh sepenuh perdamaian. Padahal, perintah dalam ayat ini menunjukkan wajib karena adanya indikator, yakni janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Konsekuensinya, perdamaian yang sempurna (abadi) bersama musuh akan menjadi wajib atas orang-orang yang Mukmin. Tentu saja ini bertentangan dengan hukum yang terdapat di dalam ayat-ayat mengenai peperangan yang mewajibkan atas orang-orang Mukmin memerangi orang-orang kafir hingga Islam menjadi milik Allah seluruhnya. Itu akan terwujud dengan masuk Islamnya masyarakat atau membayar jizyah dan tunduk pada hukum-hukum Islam. Allah Swt. menegaskan:

Perangilah mereka (orang-orang kafir) hingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan agama ini seluruhnya menjadi milik Allah semata-mata. (QS al-Anfal [8]: 39).
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, tidak pula pada Hari Akhir, tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah); yaitu orang-orang yang diberikan al-Kitab kepada mereka sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedangkan mereka dalam keadaan tunduk. (QS at-Taubah [9]: 29).
Rasulullah saw. juga bersabda:

Jihad memerangi orang-orang kafir itu tetap berlaku hingga Hari Kiamat. (HR al-Bukhari, Ahmad, dan Ibn Majah).

Seluruh penegasan itu menunjukkan tetap berlakunya perang terhadap orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah dan menundukkan orang-orang terhadap hukum-hukum Islam. Inilah yang menjelaskan bahwa kata yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut mengandung makna Islam dan bukan perdamaian dengan musuh. Sebab, makna terakhir ini bertentangan dengan hukum yang dikandung di dalam ayat-ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi musuh.
Ketiga, kata as-silm di dalam al-Quran yang mengandung makna perdamaian hanya terdapat di dalam dua ayat: dalam surah al-Anfal dan surah Muhammad. Dengan mencermati kedua ayat itu akan tampak adanya penjelasan yang menerangkan bahwa kata as-silm tersebut bermakna perdamaian.

Dalam surah al-Anfal ( ayat 61, Allah Swt. berfirman:

Jika mereka cenderung pada perdamaian, hendaklah kalian cenderung pula pada perdamaian itu seraya bertawakal kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Anfal [8]: 61).
Ayat ini mengandung pengertian, bahwa apabila orang-orang kafir cenderung dan meminta untuk berdamai, maka terimalah perdamaian itu dan berpegang teguhlah pada agama Allah dalam seluruh proses perdamaian itu seraya bertawakal kepada-Nya. Hal itu tampak dari ayat-ayat sebelumnya. Allah Swt. berfirman:
(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai-beraikanlah orang-orang yang ada di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat. Janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kalian nafkahkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup dan kalian tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS al-Anfal [8]: 56–60).
Maksudnya, hendaklah kalian memerangi orang-orang kafir itu dengan gempuran dahsyat yang dapat menimbulkan kepanikan dan ketakutan dalam hati musuh, sehingga mereka akan melarikan diri akibat tercekam rasa takut karena akan datangnya gempuran dahsyat itu sebelum sampainya serangan itu kepada mereka. Semua itu dilakukan bersamaan dengan menghunjamkan rasa takut dan kecemasan yang luar biasa ke dalam hati musuh.
Setelah seluruh serangan yang menakutkan tersebut mengalahkan pihak musuh, selanjutnya jika musuh menginginkan perdamaian tatkala mereka mengalami kejatuhan dan kelemahan, maka terimalah perdamaian itu, karena sesungguhnya perdamaian itu secara praktis akan menjadikan mereka tunduk sekaligus melucuti senjatanya.
Sementara itu, dalam surah Muhammad (47) ayat 35, Allah Swt. berfirman:
Janganlah kalian merasa lemah dan meminta perdamaian, padahal kalianlah yang lebih unggul, sementara Allah bersama kalian. Lagi pula, Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amal kalian. (QS Muhammad [47]: 35).
Ayat tersebut menunjukkan keharaman untuk meminta diadakan perdamaian dengan musuh, karena hal itu mencerminkan sikap rendah dan hina. Padahal sesungguhnya, orang-orang Mukminlah yang lebih unggul lantaran Allah bersama mereka, dan tidak akan mengurangi sesuatu pun dari imbalan (pahala) yang diberikan bagi mereka atas keteguhan mereka dalam memerangi musuh, dan tidak adanya perdamaian yang mereka mintakan kepada musuh.
Dari kedua ayat tersebut, jelaslah bahwa mengadakan perdamaian dengan musuh adalah haram kecuali apabila: (1) Permintaan damai musuh akan menghasilkan kekuatan di pihak orang-orang Muslim dan pelucutan senjata musuh; (2) Perdamaian yang dilakukan akan memberikan kemuliaan bagi orang-orang Muslim dan akan memperlemah pihak musuh.
Rasulullah saw. telah menambahkan dua syarat lainnya yang dapat disimak dari Perjanjian Hudaibiyah, yaitu: Pertama, perjanjian damai dengan musuh haruslah bersifat temporal (dibatasi selama waktu tertentu), karena menghentikan jihad atau menghapuskannya adalah haram dalam Islam bahkan merupakan kejahatan besar, sebagaimana hal itu dapat ditunjukkan oleh sejumlah nash yang telah disebutkan di atas.
Kedua, perjanjian damai yang bersifat temporal itu harus diberlakukan dengan orang-orang kafir yang menyerang (memerangi) kaum Muslim, sementara mereka berdaulat atas tanah (negeri) mereka sendiri. Sebaliknya, perjanjian damai itu tidak boleh dilakukan dengan orang-orang kafir yang merampas tanah kaum Muslim, sehingga perjanjian tersebut bukan menjadi pembenaran atas perampasan yang mereka lakukan. Alasannya, Perjanjian Hudaibiyah juga dilakukan oleh kaum Muslim dengan pihak kafir Quraisy yang saat itu masih berkuasa atas tanah (negeri) mereka dan kaum Muslim belum menaklukannya.
Sementara itu, perjanjian damai dengan pihak kafir yang telah merampas negeri kaum Muslim, seperti Yahudi yang berkuasa di Palestina saat ini, adalah tidak dibenarkan. Sebab, dalam perjanjian itu terkandung pengakuan bagi kekuasaan orang-orang kafir (Yahudi) atas negeri kaum Muslim. Ini tentu saja bertentangan dengan ayat-ayat mengenai perdamaian yang terdapat dalam al-Quran Surah al-Anfal dan Surah Muhammad serta dengan realitas Perjanjian Hudaibiyah. Sebab, Perjanjian Hudaibiyah, dengan sejumlah syarat yang diletakkan di dalamnya, telah mengangkat posisi Daulah Islamiyah menjadi sepadan dengan posisi yang dimiliki Quraisy. Perjanjian tersebut juga tidak mengesampingkan eksistensi kabilah-kabilah Arab yang takut terhadap Quraisy jika mereka masuk agama Muhammad dan mengikat perjanjian dengannya. Dengan perjanjian yang bersifat temporal itu, Rasulullah saw. juga mampu menetralisasi pihak Quraisy dari konspirasinya dengan Yahudi Khaibar serta berkonsentrasi mencurahkan segenap pikiran dan tenaga untuk memerangi Khaibar, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengetahui sebelum keberangkatannya untuk menunaikan umrah, bahwa Yahudi Khaibar telah berupaya melakukan konspirasi bersama Quraisy untuk memerangi Rasululah saw. Dinetralisasikannya pihak Quraisy menjadi faktor penolong bagi Rasulullah saw.
Oleh karena itu, di antara aktivitas pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sekembalinya ke Madinah adalah menginvasi Khaibar dan membinasakannya setelah lebih dulu menetralisasikan Quraisy dari koalisinya dengan Khaibar sebagai konsekuensi atas dilakukannya Perjanjian Hudaibiyah.
Seiring dengan kembalinya Rasulullah saw. dari Hudaibiyah ke Madinah, dalam perjalanan itu turun kepada Rasulullah saw. firman Allah Swt. berikut:
Sesungguhnya kami telah memberi kemenangan bagimu dengan kemenangan yang nyata. (QS al-Fath [48]: 1).
Selanjutnya, Perjanjian Hudaibiyah, yang kemudian diikuti oleh penaklukan Khaibar, sebenarnya merupakan kemenangan yang nyata bagi Rasulullah saw. Bahkan, di dalam perjanjian itu, terkandung kekuatan dan kemuliaan bagi setiap orang Muslim dan sebaliknya, menunjukan kelemahan bagi kalangan orang-orang kafir.
Selain dengan syarat-syarat yang telah dijelaskan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, perdamaian dengan musuh diharamkan secara mutlak.
Dari sini jelaslah bahwa menafsirkan kata as-silm di atas dengan makna perdamaian dengan musuh adalah haram. Namun demikian, berbeda halnya jika memang terkandung indikasi mendatangkan kemuliaan Islam dan kaum Muslim serta melemahkan dan melucuti senjata musuh, bersifat temporal, serta dilakukan dengan musuh yang tidak menduduki tanah ynag dirampasnya dari kaum Muslim, sehingga tidak ada pembenaran dengan adanya perdamaian itu terhadap tanah yang dirampasnya. Inilah pengertian yang terpancar dari Surah al-Anfal ayat 16 dan Surah Muhammad ayat 35 serta realitas Perjanjian Hudaibiyah.
Ketiga, Allah Swt. menjelaskan bahwa jika mereka tidak masuk ke dalam Islam secara keseluruhan, lalu tetap berpegang pada suatu keyakinan dari syariat-syariat sebelumnya yang tidak diakui Islam, maka dengan sikap yang demikian itu sesungguhnya mereka telah menjadikan diri mereka berada dalam kemurkaan Allah Swt. dan siksaan-Nya. Lebih khusus lagi telah dijelaskan bagi mereka hujjah yang sangat jelas yang menunjukan agama-agama terdahulu telah diubah dan diganti. Allah Swt. berfirman:
Siapa saja yang mengambil agama selain Islam, sekali-kali tidak akan diterima. (QS Ali Imran [3]: 85).

Jadi, setelah datangnya Islam tidak akan diterima satu syariat pun selain syariat Islam. 

Senin, 17 November 2008

Ulil Amri

Apakah Ulil Amri itu?

Apa yang dimaksud dengan taat kepada ulil amri? Benarkah ulil amri itu penguasa?


Masalah Ulil amri dijelaskan dalam ayat berikut. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa 4: 59).

Ulil amri adalah pemimpin atau orang yang mempunyai wewenang dalam mengelola suatu urusan. Misalnya para pejabat pemerintahan bisa disebut sebagai ulil amri dalam skala negara. Rektor adalah ulil amri dalam skala universitas. Direktur utama adalah ulil amri dalam lingkup perusahaan, dan lain-lain. Adanya kepemimpinan dalam suatu kumpulan adalah satu keharusan agar tercipta keteraturan. 

Betapapun kecilnya suatu kelompok, wajib punya pemimpin. Sampai-sampai Rasulullah saw. mengatakan apabila kamu berpergian bertiga, angkatlah salah seorang di antara mereka amir (pemimpin). Ini gambaran bahwa kepemimpinan itu suatu keniscayaan agar terjadi keteraturan.

Kita wajib mendengarkan dan menaati ulil amri (para pemimpin dalam lingkup apa pun) selama mereka menyuruh yang benar. Cermati keterangan berikut. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Anda wajib patuh dan setia pada pemimpin, baik dalam keadaan susah maupun senang, suka atau benci, dan biarpun merugikan kepentinganmu.” (H.R. Muslim).

Sabda Rasulullah saw. ini menegaskan bahwa kita wajib taat pada ulil amri (pemimpin) walaupun keputusannya tidak sesuai selera kita, selama keputusannya itu tidak mengandung maksiat pada Allah. Namun kalau keputusannya bertentangan dengan ajaran Islam alias mengandung maksiat, kita wajib menolaknya. Nabi saw. bersabda, ”Laa thaa’ata fii ma’syiyati al Khaaliq (Tidak wajib taat pada makhluk yang menyuruh maksiat pada Allah swt.).” (H.R. Muslim)

Islam mengajarkan bahwa seorang ulil amri (pemimpin) wajib bermusyawarah dalam memutuskan sutu perkara supaya keputusan tersebut tidak mengandung kezaliman. Allah mengategorikan para pemimpin yang suka bermusyawarah sebagai orang-orang yang tawakal, “... orang-orang yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka…” (Q.S. Asy- Syuura 42: 38).

Kesimpulannya, ulil amri adalah orang yang diberi amanah untuk memimpin. Kita wajib taat pada ulil amri selama keputusannya tidak mengandung maksiat. Setiap ulil amri, wajib menjalankan amanah kepemimpinan dengan prinsip musyawarah. Wallahu A’lam